Di sebuah desa kecil yang dikelilingi perbukitan, masyarakat hidup berdampingan dengan sungai yang menjadi sumber air utama. Selama bertahun-tahun, sungai itu mengalami tekanan hebat akibat penebangan hutan, limbah rumah tangga, dan erosi tanah. Air yang dulunya jernih kini keruh, ekosistem sungai rusak, dan banjir musiman semakin sering melanda.
Melihat kondisi ini, sekelompok warga, relawan, dan pegiat lingkungan berinisiatif memulai sebuah gerakan: Restorasi Daerah Aliran Sungai. Mereka percaya bahwa sungai bukan hanya sumber air, tetapi juga sumber kehidupan yang harus dilestarikan untuk generasi mendatang.
Gerakan dimulai dengan langkah kecil—menanam pohon di bantaran sungai. Anak-anak sekolah, petani, hingga ibu rumah tangga ikut serta menanam bibit pohon bambu, mahoni, dan tanaman lokal yang berfungsi menahan erosi. Setiap pohon yang ditanam menjadi simbol harapan, bahwa sungai bisa kembali pulih jika dijaga bersama.
Selain aksi nyata di lapangan, para relawan juga mengadakan lokakarya dan diskusi bersama warga. Mereka berbicara tentang pentingnya menjaga sumber air, mengurangi pencemaran, dan mengelola sampah rumah tangga agar tidak berakhir di sungai. Perlahan, kesadaran tumbuh—warga mulai memilah sampah, mengurangi penggunaan plastik, dan menjaga hutan di sekitar sungai.
Dengan dukungan berbagai pihak, proyek ini berkembang. Dibangun sumur resapan, terasering di lahan miring, serta kolam retensi untuk menampung air hujan. Semua ini membantu mengurangi risiko banjir, sekaligus memastikan ketersediaan air bersih bagi desa di musim kemarau.
Beberapa tahun kemudian, perubahan mulai terlihat. Air sungai kembali jernih, ikan-ikan kecil muncul, dan burung-burung kembali hinggap di sekitar bantaran. Sungai yang dulu sekarat kini kembali menjadi nadi kehidupan masyarakat.
Restorasi DAS bukan hanya tentang memperbaiki alam, tetapi juga tentang memperkuat ikatan sosial. Masyarakat belajar bahwa ketika mereka bersatu, mereka bisa melindungi sumber kehidupan bersama.